Habib Bugak, Perintis wakaf Aceh di Makkah

aceh.my.id - Sekitar 200-an tahun yang lalu atau tepatnya tahun 1809, datanglah seorang ulama asal Aceh bernama Habib Abdurrahman atau Habib Bugak Asyi ke hadapan hakim mahkamah syariah Makkah. Maksud dan tujuannya adalah untuk menyatakan keinginan mewakafkan sepetak tanah yang diatasnya berdiri satu unit rumah untuk seluruh rakyat Kerajaan Aceh Darussalam yang menunaikan ibadah haji di Makkah.

Habib Bugak Asyi mengikrarkan wakaf tersebut dihadapan Hakim. Waqaf ini bersifat bersyarat (Waqaf Muqayyad) dan bukan Waqaf Mutlaq. Artinya diwaqafkan untuk seluruh rakyat Kerajaan Aceh Darussalam yang tidak bisa berpindah tangan kepada siapapun. Kepemilikan dan pengelolaannya sudah ditentukan sendiri oleh Habib Bugak dalam ikrar tersebut.  


Lukisan Habib Bugak Al-Asyi. (sumber : madaninews.id)

Manuskrip ikrar wakaf Habib Bugak Asyi masih tersimpan rapi di kementrian Haji dan Wakaf Saudi Arabia sampai sekarang ini. Dalam manuskrip ikrar wakaf tersebut, menyebutkan penggunaan tanah wakaf ini untuk dijadikan sebagai tempat tinggal bagi jamaah haji asal Aceh (biladil Asyi)  dan tempat tinggal orang asal Aceh (mukimin min biladil Asyi) yang telah menetap di Mekkah.

Namun apabila tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji (dikarenakan sesuatu sebab) dan tidak ada lagi orang asal Aceh yang menetap di mekkah maka rumah wakaf ini digunakan sebagai tempat tinggal para pelajar Jawi (muslimin Asia Tenggara) yang belajar di Mekkah.

Sekiranya lagi karena sesuatu sebab tidak adanya lagi mahasiswa dari muslimin Asia Tenggara yang belajar di Mekkah, maka rumah wakaf diserahkan kepada Imam Masjidil Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram (lihat Anwar, Al Awqaf al Asyi, Makkah Mukarramah, 1981: 35; lihat juga M. Adli Abdullah, Membedah Sejarah Aceh, Bandar Publishing, Banda Aceh, 2011 hlm 12)

Habib Bugak juga tidak lupa menunjuk seorang nadzir (orang yang menjaga wakaf), yaitu salah seorang ulama asal Aceh yang menetap di Makkah. Nadzir itu kemudian diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Di kemudian hari, Mahkamah Syariah Mekkah mengukuhkan Syaikh Abdul Ghani bin Mahmud bin Abdul Ghani Al-Asyi sebagai nadzir Baitul Asyi. Penetapan ini dilakukan pada 1420 Hijriah atau 1999 Masehi. Syaikh Abdul Ghani bin Mahmud merupakan generasi keempat pengelola wakaf.

Perlu diketahui juga bahwa Baitul Asyi merupakan hasil dari sekitar 21 persil tanah wakaf orang-orang Aceh dimasa lalu. Setelah untuk pertama kali dimulai oleh Habib Bugak di tahun 18 Rabiul Akhir 1224 H, di kemudian hari ada banyak orang-orang Aceh yang ikut menyumbangkan hartanya untuk memperluas Baitul Asyi tersebut. Namun tidak semua tanah wakaf yang ada saat posisinya sama dengan masa diawal diwakafkan, karena ada sebagain yang digunakan untuk perluasan masjidil haram, dan tanah wakaf tersebut ditukarkan di sekitaran masjidil haram.
Kini total peninggalan asset wakaf seluruh masyarakat Aceh lebih kurang mencapai 200 juta riyal atau Rp5,2 triliun. Umunya harta wakaf tersebut kini telah berkembang menjadi asset-aset penting, seperti Hotel Elaf Al-Mashaer, Ramada dan Ajyad bertingkat 25. Hotel ini berjarak 500 meter dari Masjidil Haram. Selain itu juga ada apartemen Ajyad yang memiliki 28 tingkat yang berjarak sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Dua hotel dan satu apartemen tersebut mampu menampung lebih 12 ribu jamaah.

Sejak 2007 setiap tahunnya rakyat Aceh yang berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah akan mendapatkan dana pembagian hasil pendapatan dari pengelolaan tanah waqaf tersebut sebesar 1.200 Riyal atau sekitar Rp4 juta lebih per jamaah. Sekedar informasi bahwa beberapa hari yang lalu sempat ada wacana pihak BPKH RI untuk mengambil alih pengelolaan Tanah Waqaf Aceh di Arab Saudi tersebut. Rencana tersebut ditolak keras oleh masyarakat Aceh, mereka menggangap Pemerintah RI agar tidak mengganggu aset milik rakyat Aceh dimanapun berada.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.