Cut Nyak Dhien : Jejak Spirit Wanita Aceh

Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid

aceh.my.id - Hal tersebut disampaikan oleh Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien) sembari memeluk anak semata wayangnya Cut Gambang yang menangis karena kematian sang ayah Teuku Umar akibat tertembak peluru Belanda pada pertempuran 11 Februari 1899 yang terjadi di perbatasan Meulaboh.

Gugurnya suami tercinta pada pertempuran itu tidak lantas membuat Cut Nyak Dhien patah arah, bahkan kejadian tersebut membuatnya semakin berapi-api untuk terus bertempur melawan Belanda,  sampai pada akhirnya Cut Nyak Dhien memimpin langsung perlawanan di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.

Rasa tegar dalam diri Cut Nyak Dhien ketika harus ditinggal mati oleh suami tercinta karena gugur dalam pertempuran melawan Belanda sebenarnya bukanlah kali pertama, hal ini juga sudah pernah dirasakan ketika ditinggal mati oleh suami pertamannya Teuku Cik Ibrahim Lamnga yang tewas pada 29 Juni 1878 dalam pertempuran di Glee Tarum.

Buku berjudul “Cut Nyak Din” yang ditulis oleh Muchtaruddin Ibrahim yang terbit pada 1996 menceritakan bahwa Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Cik Ibrahim di usia yang relatif muda, perkiraannya di usia 12 tahun, walaupun menikah di usia muda Cut Nyak Dhien tumbuh menjadi perempuan dewasa yang mengikuti irama rumah tangga dengan baik, hal ini berkat bimbingan orang tua dan kebijaksanaan suaminya.

Pada saat meletusnya Perang Aceh pada tahun 1873, Teuku Cik Ibrahim Lamnga berada di garis depan untuk memimpin pasukannya, Cut Nyak Dhien sang istri rela ditinggal sampai berbulan-bulan lamanya demi pertempuran melawan Belanda.


Sumber Gambar : perpusnas.go.id

Latar Belakang Perang Aceh

Buku Aceh Sepanjang Abad jilid 1 yang ditulis oleh Mohammad Said menceritakan bahwa latar belakang meletusnya Perang Aceh pada tahun 1873 diawali dari Belanda yang berhasil menguasai wilayah Kesultanan Deli mulai dari Langkat, Asahan, hingga Serdang melalui Perjanjian Siak 1858, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh.

Jika merujuk pada Perjanjian London 1824, yang merupakan perjanjian pembagian wilayah jajahan antara Inggris dan Belanda yang ditandatangani pada 17 Maret 1824, dikatakan bahwa Kedaulatan Aceh tidak boleh diganggu Belanda, tetapi Aceh juga tidak boleh mengganggu keamanan di lautan, hal inilah yang membuat tahun-tahun sebelumnya Belanda sangat terbatas sekali gerakannya ketika ingin menguasai wilayah Kesultanan Aceh.

Perjanjian Sumatera 1871 yang terjadi beberapa tahun setelah Perjanjian Siak semakin berdampak langsung pada kedaulatan Kesultanan Aceh. Hal ini karena salah satu poin penting dalam perjanjian tersebut adalah Inggris tidak mengajukan keberatan atas perluasan dominasi Belanda di Pulau Sumatra dan juga membatalkan kesepakatan Perjanjian London tahun 1824, sejak itu Belanda sudah memastikan diri untuk memerangi Aceh.

Nafsu Belanda untuk menguasi Kesultanan Aceh dilakukan dengan berbagai cara, namun pertahanan dan perlawanan Aceh terkenal cukup kuat, salah satunya seperti yang terjadi pada 14 April 1873 dimana pimpinan perang Belanda Johan Harmen Rudolf Köhler terbunuh di bawah pohon beringin depan Masjid Raya Baiturrahman, setelah diterjang peluru seorang penembak jitu Aceh.

Perlawanan yang dilakukan oleh para perjuang Aceh tidak membuat Belanda mundur, bahkan Belanda semakin mengerahkan berbagai kekuatan untuk memerangi Aceh sampai ke seluruh wilayah Aceh termasuk wilayah VI Mukim.

Perlawanan di Wilayah VI Mukim

Wilayah VI Mukim adalah wilayah tempat dimana Cut Nyak Dhien lahir dan tumbuh dewasa, wilayah ini terletak di pantai utara bagian barat Aceh Besar dengan Peukan Bada sebagai ibu kotanya dan Teuku Nanta Seutia (Ayah Cut Nyak Dhien) sebagai Ulèëbalang (kepala pemerintah).

Dalam rangka bersiap menghadapi serangan Belanda ke wilayah VI Mukim, ayah dan suami Cut Nyak Dhien sering megadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh seperti Teuku Along, Teuku Bait, Teuku Purba, Panglima Polim, Pimpinan VII Mukim dan Pimpinan IX Mukim di rumah mereka yang berlokasi di kampung Lampadang (bagian dari wilayah VI Mukim).

Ketika datang berita pergerakan Belanda menuju wilayah IX Mukim membuat masyarakat wilayah VI Mukim mulai gelisah karena sudah pasti Belanda juga akan memasuki wilayah mereka, dalam kondisi tersebut Teuku Cik Ibrahim memerintahkan supaya anak-anak dan kaum ibu untuk mengungsi, hal ini juga berlaku bagi sang istri, anak dan mertuannya.

Akhirnya Cut Nyak Dhien beserta anak dan ibunya meninggalkan wilayah VI Mukim menuju pengungsian, rasa hati Cut Nyak Dhien cukup sedih ketika harus meninggalkan kampung halaman dan berpisah dengan sang suami dalam keadaan genting, saat dimana sang suami harus siap berperang menghadapi berbagai kumungkinan serangan yang dilakukan oleh pihak Belanda.

Masa pengungsian menjadi salah satu masa-masa pahit yang dirasakan oleh Cut Nyak Dhien, beberapa kali ia dan para pengungsi lainnya harus berpindah-pindah untuk mendapatkan tempat perlindungan yang belum diketahui sama sekali oleh pihak Belanda ketika ada berita bahwa Belanda akan menyerang tempat pengungsian.

Akumulasi dari penderitaan yang dirasakan oleh Cut Nyak Dhien rupanya menambah keyakinan dan kepercayaan dirinya, dengan hati yang tabah dan tekad yang bulat ia menerima semua cobaan dengan lapang dada, bahkan kekuatan dalam hatinya terus tumbuh untuk ikut memberikan perlawanan kepada pihak Belanda.

Pada masa pengungsian Cut Nyak Dhien pernah mengirimkan pesan kepada sang suami Teuku Cik Ibrahim melalui utusannya agar sang suami dan para perjuang Aceh untuk tidak pernah mundur setapak pun, maju terus melawan musuh, doa selamat akan tetap mengiringi mereka.

Sampai pada akhirnya takdir harus memisahkan Cut Nyak Dien dengan sang suami untuk selamanya, Teuku Cik Ibrahim bersama Teuku Rajoet dan Panglima Nyak Man tewas akibat peluru Belanda ketika pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal van der Heijden menyerbu dan mengepung dengan rapi dan terencana tempat mereka berkumpul di Glee Taron pada 29 Juni 1878.

Kematian sang suami membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Perjuangan Cut Nyak Dhien

Setelah sang suami Teuku Cik Ibrahim gugur dalam perjuangan melawan Belanda, Cut Nyak Dhien melihat dan merasakan banyak di antara pejuang-pejuang Aceh yang mulai menyerah kepada Belanda, bahkan yang paling meresahkan hati Cut Nyak Dhien, adalah mereka yang sampai ikut bekerjasama dengan Belanda karena terpesona bujuk rayu dan janji manis yang diberikan oleh pihak Belanda.

Setelah 2 tahun kematian Teuku Cik Ibrahim, Teuku Umar yang masih memiliki garis saudara dengan Cut Nyak Dhien melalui sang kakek Teuku Nan Ranceh,  memberanikan diri untuk melamar Cut Nyak Dhien kepada ayahnya Teuku Nanta Seutia yang juga merupakan adik dari ayahnya Teuku Umar, Teuku Ahmad Mahmud.

Maksud baik tersebut diterima dengan senang hati oleh Ayah Cut Nyak Dhien, begitu juga Cut Nyak Dhien sendiri, ia bersedia menjadi istri Teuku Umar dengan cita-cita bisa meneruskan perjuangan melawan  Belanda yang sebelumnya pernah tersimpan di dalam dirinya.

Sosok Teuku Umar membuat Cut Nyak Dhien semakin tangguh dan tekadnya untuk ikut berperang melawan Belanda menjadi semakin bulat. Terbukti, setelah menikah Cut Nyak Dhien hampir selalu mendampingi Teuku Umar dalam setiap perlawanan, tidak hanya sekedar mendampingi, namun juga terus memberikan dorongan, pujian, dan dukungan moral.

Ketika keadaan di medan perang semakin genting, Teuku Umar khawatir dengan nasib Cut Nyak Dhien, ia merencanakan untuk mengungsikan Cut Nyak Dhien ke tempat yang aman, namun rencana baik ini mendapat tantangan yang keras, sambil mencabut rencong dari pinggangnya Cut Nyak Dhien berkata dengan garang

Hanya ujung peluru kafir yang dapat menghambat aku. Jangan dirisaukan aku. Aku tidak bersedia berpisah dengan kau. Aku rela menderita demi melanjutkan perjuangan yang suci ini. Saya terima semua ini. Oleh sebab itu harapan saya, teruskanlah perjuangan ini. Saya tetap setia mendampingimu

Mendengar perkataan tersebut, Teuku Umar tidak lagi meneruskan niatnya, ia bangga kepada Cut Nyak Dhien, seorang istri yang setia dan berhati singa, yang memberikan dukungan moral yang tak ternilai kepada perjuangannya.

Kebersamaan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar harus berakhir untuk selamanya ketika sang suami tewas setelah gencaran tembakan yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Serangan tersebut terjadi setelah sebelumnya ada salah seorang pengkhianat dari rombongan Teuku Umar yang memberikan informasi penting kepada pihak Belanda tentang lokasi dan siasat yang akan dilakukan oleh Teuku Umar.

Setelah wafatnya Teuku Umar, Cut Nyak Dhien mengambil alih tongkat komando perjuangan, ia janji akan meneruskan perjuangan itu sampai nyawa berpisah dari badannya. Cut Nyak Dhien berpendirian bahwa lebih mulia hidup di hutan dan menderita bersama pasukannya daripada hidup senang dengan kaum penjajah.

Perjuangan Cut Nyak Dhien berakhir ketika ia dan pasukannya menjadi tawanan Belanda, hal ini terjadi setelah sebelumnya salah satu pasukan Aceh melaporkan lokasi keberadaan Cut Nyak Dhien kepada pihak Belanda, laporkan tersebut terpaksa dilakukan karena iba dengan kondisi Cut Nyak Dhien yang sudah sakit-sakitan, dari laporan tersebut Belanda harus berjanji bahwa Cut Nyak Dhien harus mendapat perawatan agar kondisi kesehatannya membaik.

Pemerintah Belanda menepati janji tersebut dengan memberikan perawatan dan pengobatan, terhadap Cut Nyak Dhien sehingga kesehatannya berangsur pulih dan matanya yang rabun sudah mengalami perubahan.

Setelah masa tahanan Cut Nyak Dhien selesai dan ia kembali ke tengah masyarakat, ia mendapat perhatian yang luar biasa, banyak tokoh-tokoh dan rakyat menyempatkan diri untuk mengunjunginya, namun hal ini membuat Belanda curiga, Belanda beranggapan ini akan memberi kesempatan kepada Cut Nyak Dhien untuk kembali mengobarkan api perlawanan yang telah hampir padam.

Akhirnya pemerintah Belanda memutuskan untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang (Jawa Barat), walaupun hidup terjamin di Sumedang jiwanya terkekang, la hidup terpisah dari saudara dan rakyat Aceh. Masa tuanya dihabiskan disana sampai akhir hayatnya pada 6 November 1908 dan juga dimakamkan Sumedang disana

Spirit Wanita Aceh di Era Milenial

Jejak spirit perjuangan Cut Nyak Dhien sebagai tokoh wanita Aceh yang tangguh, sejatinya harus menjadi spirit dan pelajaran berharga bagi generasi hari ini dan generasi yang akan datang. Spirit perjuangan tersebut telah memberikan bukti nyata bahwa wanita memiliki kedudukan yang sama dan memiliki kesempatan yang sama, dalam hal ini Cut Nyak Dhien mengambil peran sebagai pejuang dengan ikut turun berperang melawan Belanda.

Semoga generasi muda Aceh di era milenial hari ini bisa mengaktualisasikan spirit perjuangan yang di contohkan oleh Tjoet Nja' Dhien.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.